Skip to main content

Lupa dan jenuh dalam belajar




 LUPA DALAM PROSES BELAJAR
Lupa merupakan istilah yang sangat popular dalam kehidupan kita . dalam belajar, lupa kerap kali dialami dalam bidang belajar kognitif, dimana anak didik harus banyak “belajar verbal”,yaitu belajar yang menggunakan bahasa.[1]
Menurut teori kognitif apapun yang ita alami dan kita pelajari, kalau memang system akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam subsitem akal permanen kita. Akan tetapi, kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu. Seringkali terjadi, apa yang telah kita pelajari, dengan tekun justru sukar diingat kembali dan mudah terlupakan. Sebaliknya, tidak sedikit pengalaman dan pelajaran yang ita tkuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.
Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari.
Secara sederhana, Gulo (1982) dan Rabber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari. Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dari akal dan pengetahuan kita.
Jenis-jenis Lupa

Lupa-Hilang
Kerapkali pengertian “lupa” dan “hilang” secara spontan dianggap sama , padahal apa yang dilupakan belum tentu hilang dalam ingatan begitu saja. Hasil refleksi atas pengalaman belajar di sekolah, memberikan petunjuk bahwa sesuatu yang pernah dicamkan dan dimasukkan dalam ingatan (long-term memory) tetap menjadi milik pribadi dan tidak menghilang tanpa bekas. Dengan kata lain, kenyataan bahwa seseorang tidak dapat mengingat sesuatu , belum berarti hal itu hilang dari ingatannya, seolah-olah hal yang pernah dialami atau dipelajari sama sekali tidak memmpunyai efek apa-apa. Jadi, lupa bukan berarti hilang. Sesuatu yang terlupakan tentu saja masih dimiliki dan tersimpan di alam bawah sadar, sedangkan sesuatu yang hilang tentu saja tidak tersimpan di alam bawah sadar.
Lupa adalah fenomena psikologis, suatu proses yang terjadi didalam kehidupan mental. Jutaan informasi telah direkam dan diserap melalui “computer otak”. Perlu diketahui bahwa hilangnya informasi dari ingatan jangka pendek disebabkan oleh dua hal, yaitu karena gangguan dan waktu.
Mengingat hal-hal yang baru dapat mengganggu hal-hal yang lama. Pada waktu tertentu, kemampuan ingatan jangka pendek yang terbatas itu penuh dengan informasi-informasi baru, sehingga hilanglah ingatan jangka pendek karena usangnya waktu. Semakin lama informasi di dalam ingatan jangka pendek semakin melemah keadaannya dan akhirnya hilang lenyap tak berbekas.
Informasi yang hilang dari ingatan jangka pendek itu benar-benar lenyap. Tetapi informasi yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang tidak pernah hilang dan selalu dapat diingat kembali asalkan kondisinya tepat.
Freud pernah mengatakan bahwa kadang-kadang secara sengaja kita melupakan atau menekan informasi atau pengetahuan tertentu yang tidak diinginkan untuk diingat-ingat. Gangguan-gangguan yang menyebabkan terjadinya lupa, baik dalam ingatan jangka panjang maupun dalam ingatan jangka pendek ditunjang oleh hasil-hasil penellitian, bahwa informasi-informasi yang baru dapat membingungkan informasi-informasi yang lama, apalagi bila yang lama itu sifatnya kabur. Bila informasi-informasi yang baru menyulitkan orang untuk mengingat kembali informasi-informasi yang lama disebut “inhibisi retroaktif” atau gangguan retroaktif. Sebaliknya, bila informasi-informasi yang lama menyulitkan orang untuk mengingat kembali informasi-informasi yang baru dinamakan “inhibisi proaktif” atau gangguan proaktif.( Mahmud, 1990 : 136 )
Lupa – lupa Ingat
Lupa-lupa ingat berlainan dengan lupa-lupaan, dan tidak sama dengan melupakan. Lupa-lupaan berarti pura-pura lupa. Melupakan berarti melalaikan; tidak mengindahkan . baik lupa-lupaan maupun melupakan mengandung unsure kesengajaan. Sedangkan lupa-lupa ingat berarti tidak lupa, tidak ingat benar; (masa samar, tetapi kurang pasti) ; agak lupa.
Terkadang kita mencoba mengingat sesuatu dari ingatan jangka panjang kita dan merasa seolah-olah kita hampir mengingatnya, tetapi tidak dapat mengingat betul apa yang kita ingat itu, entah itu nama seorang teman, tempat berlangsungnya kejadian tertentu, tanggal lahir seorang pahlawan nasional, dan sebagainya. “ hampir ingat “ disebut “gejala ujung lidah” .
2). Perihal Lupa
Dahulu banyak orang berpendapat bahwa lupa itu terutama disebabkan oleh lamanya waktu antara terjadinya pengalaman dengan terjadinya proses ingatan. Karena telah lama, maka mudah dilupakan. Akan tetapi, setelah diadakan penyelidikan lebih lanjut oleh para ahli psikologi, ternyata bahwa pendapat tersebut tidak benar. Karena pada umumnya memang orang lekas melupakan sesuatu yang telah dipelajari.[2]
Sekarang orang lebih cenderung untuk menerima bahwa lupa itu tergantung kepada :
Apa yang diamati
Bagaimana situasi dan proses pengamatan itu berlangsung
Apakah yang terjadi dalam jangka waktu berselang itu, dan
Bagaimana situasi ketika berlangsungnya ingatan itu
Namun, ada beberapa orang yang menyelidiki masalah tentang ingatan ini, yaitu :
Basselt
Dia menyelidiki jumlah yang diingat oleh 495 murid umur 7 tahun dari anak-anak sekolah kota baltimore mengenai sejarah Amerika. Setelah 1 tahun murid-murid itu hanya kira-kira 25% dari apa yang diajarkan.
Layton
Layton mendapatkan bahawa hanya 1/3 yang dapat diingat dari pelajaran aljabar permulaan setelah 1 tahun.
Gedestrom
Beliau mendapatkan dalam penyelidikannya di beberapa kelas di Universitas Minesota tentang pelajaran ilmu hayat. Setelah setahun tidak diberi pelajaran, hanya 6/10-8/10 bagian saja yang diingat.
Johnson
Johnson mendapatkan dari penyelidikan mengenai pelajaran Botani hasil yang berbeda-beda. Bagi 24 mahasiswa setelah 3 bulan yang masih diingat dari pelajaran itu 45%, sedangkan stelah 6 bulan 28% yang masih diingat.
Dari penyelidikan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa bahan yang dipelajari tidak dapat diingat seluruhnya. Demikianlah, masalah lupa bukanlah masalah waktu; bukan soal jarak waktu antara pengamatan dan ingatan, melainkan masalah kejadian-kejadian atau gangguan-gangguan tertentu di dalam jiwa manusia.[3]
Kapan Terjadinya Lupa ?

Lupa menyangkut penggalian ingatan (long-term memory). Penggalian (retrieval) berlangsung sesudah materi pelajaran diolah (encounding). Dan dimasukkan dalam LTM (storage). Hasil penggalian mungkin harus digunakan dalam proses belajar yang sedang berlangsung, mungkin pula baru akan digunakan beberapa waktu kemudian, setelah proses belajar yang sekarang ini berakhir.[4]
Selama proses belajar masih berlangsung, siswa membutuhkan hasil penggalian dari ingatannya pada saat :
Unit pelajaran, yang belum selesai dipelajari seutuhnya, akan dilanjutkan, misanya pada jam pelajaran berikutnya. Disini, berperan yang disebut “working memory”.
Hasil belajar akan diterapkan diluar lingkup bidang studi yang bersangkutan, misalnya pengetahuan di bidang studi IPA, digunakan untuk memahami aneka gejala klimatologis yang dialami setiap hari (transfer belajar). Disini working memory berperanan.
Harus memberikan prestasi pada akhir proses belajar, yang membuktikan bahwa hasil belajar memang diperoleh atau tujuan instrupsional telah tercapai. Disini working memory mungkin berperan,
Sesudah proses belajar berakhir, siswa membutuhkan hasil penggalian dari ingatannya pada saat :
Mempelajari unit pelajaran lain di bidang studi sama atau mempelajari topic tertentu di bidang studi lain. Hasil dari belajar yang dahulu itu diperlukan dalam rangka pengolahan materi yang lain. Disini working memory berperanan.
Mengiulang kembali garis-garis besar dari materi pelajaran untuk beberapa pokok bahasan, sebagai persiapan utnuk menempuh ulangan (review). Disini working memory berperanan.
Memberikan prestasi pada waktu mengerjakan ulangan yang meliputi sejumlah satuan pelajaran yang telah selesai dipelajari. Disini working memory mungkin berperanan.
Lupa menunjukkan pada kesulitan untuk menggali (ingatan) apa yang tekah diperhatikan, diolah dan dimasukkan kedalam ingata jangka panjang. Apa yang tidak diperhatikan pada fase konsentrasi dan tidak dicernakan pada fase pengolahan sebelum dimasukkan kedalam LTM, tidak dapat dikatakan “terlupakan” ; hal-hal itu telah “keluar” dan dengan usaha apapun tidak akan dapat ditemukan, karena memang tidak ada dalam ingatan jangka panjang.

Faktor-faktor Penyebab Lupa
Pertama Lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam system memori siswa dalam interference theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu proactive interference dan retroactive interference.[5]
Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya alam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja pelajari akan sangat sulit diingat tau diproduksi kembali.
Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami gangguan retroaktif apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa tersebut.[6]Dalam hal ini, materi pelajaran lama akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama itu.
Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan.
Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan, dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan sehinggan ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran.
Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada,jadi sama dengan fenomena retroaktif.
Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan.
Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar denga waktu mengingat kembali. Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kuda nil lewat gambar-gambar yang ada disekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menyebut nama hewan-hewan tadi ketika melihatnya dikebun binatang.
Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses an situasi belajar tertentu. Jadi, meskipun seorang siswa telah mengikuti proses belajar-mengajar dengan tekun dan serius, tetapi karena sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya ( seperti karena ketidaksenangan kepada guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.
Kelima, menurut law of disuse (Hilgard dan Bower, 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian dengan sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.
Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat saraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu, seperti keracunan, kecanduan alcohol, dan gegar otak akan kehilangan ingatan atas item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.
Dalam literatur ilmiah yang membahas sebab-sebab terjadinya lupa, dapat ditemukan berbagai pandangan antara lain sebagai berikut :
Menurut Woodworth gejala lupa disebabkan bekas-bekas ingatan yang tidak digunakan lama kelamaan terhapus ; dengan berlangsungnya waktu, terjadi proses penghapusan yang mengakibatkan suatu bekas ingatan menjadi kabur dan lama-kelamaan hilang sendiri. Pandangan ini dikaitkan dengan proses fisiologis yang berlangsung dalam sel-sel otak digambarkan bahwa pada saat fiksasi, kesan-kesan yang dicamkan itu diterima dan ditanamkan dalam struktur fisik sel-sel di otak . dalam sel otak ini terus menerus menjadi proses pertukaran zat. Apabila suatu kesan ingat sama sekali tidak digunakan dan kadang-kadang tidak diperbaharui, sisa atau bekas ingatan itu lambat laun akan terhapus.
Terhadap pandangan ini, dapat dikemukakan beberapa keberatan, misalnya orang yang sudah lanjut usia kerap kali dapat mengingat dengan jelas sekali dengan kejadian atau peristiwa yang dialaminya pada waktu masih anak-anak; seandainya bekas-bekas ingatan terhapus sendiri dengan bereedarnya waktu, hal itu kiranya tidak mungkin. Maka, dewasa ini pandangan itu tidak seluruhnya diterima, meskipun tidak disangkal sama sekali.
Pandangan yang mendapat banyak dukungan dari hasil penelitian ialah pandangan yang mencari sebab terjadinya lupa dalam “interferensi” , yaitu gangguan dari informasi yang baru masuk ke dalam ingatan terhadap informasi yang telah tersimpan disitu, seolah-olah informasi yang lama digeser dan kemudian lebih sukar diingat. Terjadunta interferensi (retroactive inhibition) merupakan suatu fakta, meskipun belum diketahui belum jelas bagaimana iterferensi itu harus dijelaskan. Secara praktis hanya dapat dikatakan, kala terjadi kegagalan dalam mengingat, mungkin hal itu disebabkan adanya gangguan dari informasi baru terhadap penyimpanan informasi lama.
Dengan demikian lupa tidak dapat seluruhnya dicegah. Namun , kenyataan ini tidak boleh ditafsirkan dengan cara begini : tidak ada gunanya untuk mempelajari hal-hal baru, karena pasti akan mengganggu ingatan akan hal-hal yang dipelajari sebelumnya. Tidak semua informasi baru harus mengganggu penyimpanan informasi lama; seandainya panggilan informasi lama ternyata terganggu, informasi itu masih dapat digali dengan cara penggalian yang lain atau dipelajari kembali dalam waktu yang lebih singkat.
Pandangan yang lain menunjuk pada motif-motif tertentu, sehingga orang sedikit banyak mau melupakan sesuatu, misalnya kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan lebih mudah terlupakan daripada yang menyenangkan. Jadi, disini terdapat pengaruh dari motifasi terhadap penyimpangan; inilah kasus lupa yang bermotif.
Kiat Mengurangi Lupa
Kiat terbaik untuk mngurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya ingatnya, antara lain , menurut Barlow (1985), Reber (1988) dan Anderson (1990) adalah sebagai berikut :
Overlearning
Adalah upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respon atau reaksi tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atasa respons tersebut dengan cara diluar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk overlearning, antara lain pembacan teks Pancasila pada setiap hari senin dan sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap materi pendidikan Kewarganegaran (PPKn).
Extra study time
Extra stdy time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktifitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar, misalnya dari satu jam menjadi satu setengah jam. Penamabahan frekuensi balajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari sekali sehari menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dianggap dapat melindungi memori dari kelupaan.
Mnemonik device
Mnemonik device (muslihat memori) yang sering juga hanya disebut Mne-monik itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi kedalam sistem akal siswa. Muslihat mnemonic ini banyak ragamnya, tetapi yang paling menonjol adalah sebagaiman yang terurai dibawah ini :
Rima (rhyme)
Yakni sajak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri atas kata dan istilah yang harus diingat siswa. Sajak ini akan lebih baik pengaruhnya apabila diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan. Nyanyian anak-anak Tk yang berisi pesan-pesan moral apa diambil sebagai contoh penyusunan rima mnemonic.
Singkatan
Yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus diingat siswa. Contoh : jika seorang siswa hendak mempermudah mengingat nabi Adam, nabi Nuh, nabi Ibrahim dan nabi Musa, dapat menyingkatnya dengan ANIM. Pembuatan singkatan-singkatan sebaiknya dilakukan sedemikian rupa sehingga menarik dan memiliki kesan tersendiri.
Sistem kata pasak (peg word system)
Yakni sejenis teknik mnimonik yang menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru. Kata komponen pasak ini dibentuk berpasangan seperti merah-saga, panas-api. Kata-kata ini berguna untuk mengingat kata istilah yang memiliki watak yang sama seperti darah, lipstik; pasangan langit dan bumi, neraka, dan kata atau istilah lain yang memiliki kesamaan watak ( warna, rasa, dan seterusnya).
Metode Losal (Method of loci)
Yakni , kiat mnemonic yang menggunakan tempat-tempat khusus dan terkenal sebagai srana penempatan kata dan istilah tertentu yang harus diingat anak didik. Kata “Loci” sendiri dari jamak kata “Locus” artinya tempat. Dalam hal ini, nama-nama kota, jalan, gedung terkenal, dapat dipakai untuk menempatkan kata dan istilah yang kurangt-lebih relevan dalam arti memiliki kemiripan ciri dan keadaan. Contoh, nama ibukota Amerika Serikat untuk mengingat nama presiden pertama Negara itu (George Washington), jalan A.Yani untuk mengingat salah seorang pahlawan revolusi yang gugur dalam pemberontakan G 30 S/PKI di Indonesia. Apabila guru memerlukan anak didik menyebut nama-nama, ia dapat menyuruh anak didik “bepergian” ke tempat-tempat tersebut.
Sistem kata kunci (Key Word System)
Kata mnemonic yang satu ini relatif tergolong baru dibanding dengan kiat-kiat mnemonik lainnya. Kiat ini mula-mula dikembangkan pada tahun 1975 oleh dua orang pakar psikologi, yaitu Raugh dan Atkinson (Barlow ; 1985). sistem kata kunci biasanya direkayasa secara khusus untuk mempelajari kata dan istilah asing, dan konon cukup efektif untuk pengajaran bahasa asing, misalnya inggris. Sistem ini berbentuk daftar kata yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut :
Kata-kata asing
Kata-kata kunci, kata-kata bahasa lokal yang paling kurang suku pertamanya memiliki suara/lafal yang mirip dengan kata yang dipelajari.
Arti kata-kata asing yang akan dikuasi tersebut.
Pengelompokan
Maksud kiat pengelompokan (clustering) adalah menata ulang setiap materi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa materi tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip. Penataan atau pengelompokan ini direkayasa sedemikian rupa dalam bentuk daftar-daftar materi.
Latihan Terbagi
Lawan latihan terbagi (distributed practice) adalah latihan terkumpul (massed practice) yang sudah dianggap tidak atau kurang efektif, karena mendorong anak didik melakukan “cramming” (belajar tergesa-gesa). Dalam latihan terbagi, anak didik melakukan latihan-latihan dengan alokasi waktu yang pendek dan dipisah-pisahkan diantara waktu-waktu istirahat. Upaya ini dilakukan untuk menghindari “cramming”, yakni belajar banyak materi banyak secara tergesa-gesa dalam waktu singkat. Dalam latihan terbagi anak didik dapat menggunakan berbagai pendekatan dan metode sebagai strategi belajar yang efisien dan efektif. Hokum Jost (Jost’s Law) misalnya, salah satu pendekatan belajar yang sesuai dengan teknik ini. Asumsi penting dari Hukum Jost adalah bahwa semakin sering anak didik mempraktekkan materi pelajaran, dia akan lebih mudah memanggil kembali memori (kesan-kesan) lama yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari. Hukum Jost berasumsi bahwa belajar dengan kiat 3 x 5 lebih baik daripada 5 x 3, walaupun hasil perkalian kedua kiat itu sama jumlahnya, yaitu 15. Dengan kata lain, mempelajari sebuah materi dengan alokasi waktu 3 jam sehari selama 5 hari lebih efektif daripada mempelajari materi tersebut dengan alokasi waktu 5 jam sehari selama 3 hari. Pendekatan belajar kredit (dengan cara mencicil) seperti ini hingga kini masih dipandang cukup berhasil guna, terutama untuk materi-materi yang bersifat hafalan.
Selain kiat-kiat mengurangi lupa seperti yang dikemukakan oleh para tokoh di atas, ada lagi kiat lain sebagai jurus ampuh yang sudah teruji keampuhannya untuk mengurangi lupa. Kiat ini efektif untuk meningkatkan daya ingat anak didik dalam waktu yang lama. Kiat dimaksud adalah “Jembatan Logika”, yaitu suatu siasat untuk menyerap, mengolah dan menyimpan informasi penting berupa pokok pikiran dari suatu gagasan untuk dijadikan pijakan utama dalam penggalian informasi yang telah tersimpan dalam memori. Teknik ini berbentuk “skema” atau “bagan” yang dibentuk sedemikian rupa berdasarkan pokok pikiran dari suatu gagasan.
W.S. Winkel (1989:292) mengemukakan usaha-usaha mengurangi lupa yang dapat dilakukan oleh anak didik dan guru. Pendapat W.S. Winkel ini diuraikan dengan modifikasi seperlunya, sebagai berikut :
Motivasi belajar yang kuat di pihak anak didik. Lebih-lebih motivasi intrinsik, dan kesadaran akan tujuan yang harus dicapai, mendorong anak didik untuk melibatkan diri. Anak didik akan lebih mudah mengingat di hari-hari berikutnya, jika selama belajar ia berniat untuk mengingatnya kelak, seolah-olah anak didik berkata kepada diri sendiri; Kalau saya tidak belajar dengan baik, saya pasti akan lupa nanti. Cara berpikir positif anak didik ini harus dimanfaatkan oleh guru dengan cara membangkitkan motivasi dan minat anak didik untuk belajar.
Memancing perhatian anak didik merupakan pintu gerbang yang mengantarkan anak didik pada konsentrasi terhadap pelajaran yang diberikan. Perhatian khusus yang terarah pada unsur-unsur yang relevan atau kata kunci harus anak didik lakukan, dengan membiarkan unsur-unsur yang tidak penting dari perhatian. Bantuan guru di sini diperlukan agar memberikan tekanan-tekanan tertentu pada kata kunci, sebagai unsur pokok yang sesungguhnya dari bahan pelajaran yang diberikan.
Anak didik perlu mengolah materi dengan baik dan segera. Penundaan pengolahan mungkin sekali akan mengakibatkan bahwa materi itu terdesak keluar dari ingatan jangka pendek, karena ada informasi baru yang masuk. Pengolahan yang tidak sempurna mengakibatkan informasi yang akan masuk ke dalam ingatan jangka panjang masih berada dalam keadaan “setengah matang”, sehingga proses penggalian kelas juga menjadi lebih sukar. Makin baik pengolahan materi, makin baik pula penyimpanannya dan makin baik pula proses penggalian dari ingatan kelak. Upaya penggalian materi, baik dengan menggunakan kekuatan asosiasi ataupun dengan pengandalan daya reproduksi, dengan mudah dapat dilakukan dengan segera.
Agar informasi yang diterima anak didik tidak setengah matang, bantuan guru diperlukan dalam bentuk penjelasan materi pelajaran yang sistematis dan jelas ; tidak bertele-tele. Bentuk skema atau bagan dari pokok pikiran bahan pelajaran merupakan teknik yang diakui keampuhannya dalam membantu anak didik menyerap, mengolah dan menggali informasi pasca kegiatan belajar-mengajar di kelas. Kadar ingatan anak didik meningkat dan mengurangi lupa.
Informasi yang tersimpan terlalu lama dan tak pernah digali cenderung terlupakan dan sangat sulit untuk digali kembali. Oleh karena itu, kerap dianjurkan agar bekas-bekas yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang supaya diperbarui dengan menggalinya darei ingatan, mengolahnya kembali dan memasukkannnya lagi ke dalam ingatan. Semakin dekat frekuensi penggalian, semakin berkuranglah waktu yang dibutuhkan ntuk menggalinya secara sempurna. Materi pelajaran yang bersifat hafalan dapat dibantu dengan cara ini agar kadar ingatan meningkat dan tahan lama.
Penggunaan kunci yang tepat akan dapat membantu anak didik membuka ingatannya. Guru dapat membantu dengan memberikan pertanyaan yang terarah atau apersepsi, agar anak didik berhasil menggali informasi dari ingatannya. Pertanyaan apersepsi adalah “pengait mental’ sebagai “kunci pancingan” yang menggiring daya konsentrasi anak didik “asosiasi” untuk menggali informasi terpilih yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang. Selain itu, transfer belajar melingkupi dari lingkup bidang studi tertentu ke bidang studi yang lain atau ke kehidupan yang lain, diakui dapat mengurangi lupa karena anak didik semakin sadar akan kegunaan hasil belajarnya.

B.  KEJENUHAN DALAM PROSES BELAJAR
Secara harfiah, arti kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu memuat apapun. Selain itu, jenuh juga berarti jemu atau bosan.[7]
Dalam belajar, di samping siswa mengalami kelupaan ia juga terkadang mengalami peristiwa negative lainnya yang disebut jenuh belajar yang dalam bahasa psikologi lazim disebut learning plateau atau plateau (baca: pletou) saja. Peristiwa jenuh ini kalau dialami seorang siswa yang sedang dalam proses belajar (kejenuhan belajar) dapat membuat siswa tersebut merasa telah memubazirkan usahanya.
Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber, 1998). Seorang siswa yang mengalami kejenuhan belajar merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidaka ada kemajuan. Tidak adanya kemajuan hasil belajar ini pada umumnya tidak berlangsung selamanya, tetapi dalam rentang waktu tertentu saja, misalnya seminggu. Namun tidak sedikit siswa yang mengalami rentang waktu yang membawa kejenuhan itu berkali-kali dalam satu periode belajar tertentu.
Seorang siswa yang sedang dalam keadaan jenuh sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan di tempat”.
Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kejenuhan Belajar
Kejenuhan belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motivasi dan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum sampai pada tingkat keterampilan berikutnya (Chaplin, 1972). Selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai pada batas kemampuan jasmaniahnya karena bosan (boring) dan keletihan (fatigue). Namun, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda siswa, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan bosan pada siswa yang bersangkutan.
Menurut Cross (1974) dalam bukunya The Psychology of Learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yakni :
Keletihan indera siswa.
Keletihan fisik siswa.
Keletihan mental siswa.
Apakah yang menyebabkan siswa mengalami keletihan mental (mental fatigue)? Berikut ada 4 faktor penyebab keletihan mental siswa.
Karena kecemasan siswa terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu sendiri.
Karena kecemasan siswa terhadap standar/patokan keberhasilan bidang-bidang studi tertentu yang dianggap terlalu tinggi terutama ketika siswa tersebut sedang merasa bosan mempelajari bidang-bidang studi tadi.
Karena siswa berada di tengah-tengah situasi kompetitif yang ketat dan menuntut lebih banyak kerja intelek yang berat.
Karena siswa memprcayai konsep kinerja akademik yang optimum, sedangkan dia sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarkan ketentuan yang ia bikin sendiri (self-imposed).
Selanjutnyam kiat-kiat untuk mengatasi keletihan mental yang menyebabkan munculnya kejenuhan belajar itu, antara lain sebagai berikut:
Melakukan istirahat dan menkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi dengan takaran yang cukup banyak.
Pengubahan atau penjadwalan kembali jam-jam dari hari-hari belajar yang dianggap lebih memungkinkan siswa belajar lebih giat.
Pengubahan atau pentaan kembali lingkungan belajar siswa yang meliputi pengubahan posisi meja tulis, lemari, rak buku, alat-alat perlangkapan belajar dan sebagainya sampai memungkinkan siswa merasa berada di sebuah kamar baru yang lebih menyenangkan untuk belajar.
Memberikn motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat daripada sebelumnya.
Siswa harus berbuat nyata (tidak menyerah atau tinggal diam) dengan cara mencoba belajar dan belajar lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Djamarah Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Jakarta. Rineka Cipta.2002
Mustaqim, Drs dan Wahib Abdul, Drs. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. 1991
Purwanto Ngalim M. Psikologi Pendidikan. Remaja Posda Raya. Bandung. 2007
Syah Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
W.S. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta. Media Abadi. 2005.

Comments